Sekutu Sejiwa: Suryakencana dan Ranukumbolo
Sekutu Sejiwa: Ranukumbolo dan Suryakencana
Sebuah persembahan untuk seorang kawan yang selama ini mengindahkan atas mimpi-mimpi mendaki gunung dan menjiwainya.
Oleh: Winona Salsabila
Mimpi kita sewaktu masih menjadi maba polos adalah mendirikan organisasi pecinta alam. Bagja, tulisan ini untukmu.
AWAL
Kami bertemu di sebuah kampus teknik, pertama kali saya mengenalnya pada saat mencari dosen wali. Benar, saya dan Bagja satu jurusan. Sembari menunggu balasan dosen, kami yang notabenenya mahasiswa baru polos dan bodoh saling berkenalan satu sama lain. Tunggu punya tunggu akhrinya kami banyak bertukar latar belakang. Waktu itu ada sekitar 7 mahasiswa baru yang ternyata dosen wali kami sama. Hanya saya yang mahasiswi, kala itu. Obrolan kami sampailah kepada petualangan. Satu kawan diantara 7 mahasiswa baru ini ternyata juga sama gilanya terobsesi kepada gunung. Bagja Nugraha Dwiandi nama mahasiswa baru itu.
Dari obrolah itulah ambisi kami nyarak terbakar. Mengingat UKM cinta alam di kampus kita pada saat itu keberadaannya 'remang-remang' alias tidak aktif atau bahkan tidak ada. Teringat satu kalimat yang kulontarkan, menurut kami cukup menggelitik . "Lucu ya, Ja. Kampus kita berdiri di tengah hutan tapi nggak ada kumpulan mahasiwa pecinta alamnya". Dari candaan itu, akhirnya Bagja dan saya sepakat untuk mendikiran atau menghidupkan lagi gelora cinta alam di kampus tengah hutan ini.
JERAM
Semester 1 selesai. Walau dengan kondisi mengulang kalkulus, hehe. Berprogres setiap hari, mendulang harap-harap impian kami segera terjadi. Akhirnya kami berhasil membentuk komunitas kecil. Ya, salah satu syarat mendirikan UKM harus dimulai dari komunitas terlebih dahulu. Kami berhasil menghimpun 7 orang pertama komunitas kami, termasuk Bagja dan Saya. Mereka terdiri dari Ida, Josh, Ando, Andi, dan Ganti. Semuanya adalah kawan dari angkatan dan jurusan yang sama.
Ketika air yang turun dari langit sudah tidak terlalu deras, kami langsung menuju lokasi kemah kami. Malam itu terasa cukup dingin, dengan dilapisi jaket tebal masing-masing dan disuguhkan mini guitar performance dari Bagja, entah mengapa malam itu tiba-tiba menjadi hangat dan nyaman. Petikan merdu dari dawai gitar dan api unggun akhirnya mengarahkan kami melahirkan sebuah nama untuk komunitas kami yang diimpikan bersama menjadi sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa. Jeram.
Malam di tepi pantai itu sontak menjadi saksi terbentuknya komunitas Jelajah Rimba dan Abdi Mahasiswa. Sebuah wadah untuk mimpi kami akhirnya mempunyai nama juga.
BERAPI-API
Setahun sudah hitungan kami berkuliah di kampus tengah hutan ini. Kami semakin gencar mewujudkan visi. Dari mulut ke mulut anggota kami semakin bertambah. Kebanyakan dari kawan jurusan mesin dan kawan dari jurusan metalurgi. Ada juga yang dari jurusan sipil dan elektro.
Saya pun juga gencar merencanakan pendakian saya. Kebanyakan saya ceritakan ke Bagja. Di tengah masa ospek yang nampaknya belum nampak ujungnya, di tambah dengan mata kuliah yang semakin menantang tak sedikit pun ada niatan untuk tidak meninggalkan angan-anganku untuk mendaki sebuah gunung. Dari buku Zaman Peralihan yang berisikan tulisan-tulisan tetntang gagasan Soe Hok Gie, bulat tekad saya untuk meraih Semeru. Bagja yang mendengar hal ini tentu saja sangat mendukung.
Sampailah kami di semester 3. Belum terlalu berat walau sekali lagi kubilang, masa ospek belum berakhir. Sebenarnya, saya resmi menjadi warga kampus di akhir semester kedua. Namun ospek jurusan belum ada titik terangnya. Saya malah diangkat menjadi sekertaris angkatan di jurusan saya menggantikan sekertaris sebelumnya. Tantangan saya bertambah lagi mengurusi angkatan jurusan yang nasibnya entah akan dianggap menjadi warga jurusan atau tidak. Pasalnya, ospek jurusanku lebih bergengsi dari ospek kampus itu sendiri, hehe pride.
Tak lama setelah menjabat menjadi sekertaris baru, Bagja ternyata juga diangkat menjadi komandan tingkat baru di jurusanku menggantikan komting sebelumnya. Menjajaki petualangan di Badan Pengurusa Harian angkatan, membuat saya dan Bagja banyak bertengkarnya karna tidakn sejalan dalam mengurusi angkatan jurusan. Tapi ya wajar lah, ya. Namanya juga belajar berpolitik. Walau kenyataannya kalau diingat-ingat saya yang lebih keras waktu itu, hehe. Sorry ya, Ja.
PENGALAMAN BARU
Liburan semester saya manfaatkan untuk bekerja mencari modal untuk pergi ke Semeru. Selang 3 bulan mencari modal, akhirnya langkah kaki saya mantap pergi menemui Gunung Semeru. Saya pergi seorang diri. Penerbangan sore dari kota saya membuat pesawat yang saya tumpangi landing pada malam hari. Petualangan sesungguhnya sudah saya mulai dari sini. Tiba di bandara Juanda, Surabya seorang diri membuat saya harus berani dan was-was. Benar saja, saya diikuti oleh orang dari belakang. Seru sekali dan mendebarkan. Untuk tidak dicurigai bahwa saya benar-benar sendiri disana, saya membaur dengan keramaian di kantin bandara dan berpura-pura menelpon kerabat. Sontak orang itu langsung pergi. Dan akhirnya saya berhasil juga keluar dari bandara untuk menuju stasiun dengan tujuan Malang. Menunggu dari jam 11 hingga pukul 1 dini hari di stasiun Gubeng. Ini pertama kalinya bagi saya berpergian jauh sendirian dan naik kereta untuk pertama kalinya. Kereta yang saya naiki ini membuat saya menunggu kurang lebih 3 jam lamanya. Sembari menunggu, saya terus berkontak via whatsapp dengan Bapak saya di rumah.
Waktu itu Bagja juga bertukar chat dengan saya, memastikan saya baik-baik saja. Oh iya, saya juga harus berterimakasih kepada Bilal yang telah sudi meminjamkan matrasnya untuk saya bawa sebagai penunjang peralatan pendakian saya. Bilal ini juga sahabatnya Bagja.
Kereta yang saya tumpangi waktu itu adalah sebuah kereta kelas ekonomi dengan bantalan sandaran kursi siku yang baku hadap dengan penumpang lain. Hahaha, saya tidak bisa melupakan pengalaman itu. Sendirian bukan berarti bahwa saya kesepian. Di tempat asing ini, tidak jarang saya temukan orang -orang baik hati. Mungkin di lain kesempatan akan saya tulis.
Pukul 3 pagi saya baru sampai di Malang dan langsung menuju penginapan. Kalender menunjukkan tanggal 14 Agustus 2018. Disana saya mendapat kesempatan untuk bertemu Maulida (Ida). Saya juga turut menjemputnya di Stasiun Kota Baru, Malang. Waktu itu dia mampir ke Malang sehabis mengikuti Indonesia Maritime Challenge 2018 (AKAN SAYA TULIS SEGERA MENGENAI PENGALAMAN SAYA DI IMC).
Saya dan Ida menghabiskan 2 hari bersama menjelajahi sudut-sudut Kota Malang dengan berjalan kaki. Pada tanggal 16 Agustus, tepat di hari ulang tahun saya yang ke-19, Ida mengantar saya untuk bertemu dengan kawan baru yang kemudian menjadi tim pendakian Semeru.
MENGGAPAI SEMERU
Sebelum benar-benar mendaki, saya mendapat kesempatan tur Bromo gratis dan harus me-recharge tenaga yang dibutuhakn untuk berjalan bermil-mil jauhnya. Selepas tur, anggota kami diperkenankan untuk menginap di satu basecamp di Ranupani. Dan pagi harinya kami benar-benar mendaki. Oh iya, sebelum dimulai saya malah lupa mengabari Bapak dan malah teringat untuk izin tidak ikut perwalian ke dosen wali. Langsung saja saya menghubungi Bagja. Tak lupa ia menyemangati saya dan berharap saya baik-baik saja sebelum tidak bisa berkontak selama 3 hari lamanya. Dan ia adalah orang terakhir yang saya hubungi.
Ada tulisan pulpen yang saya gores tintanya di atas papan khusus untuk menulis apapun. Saya hanya menulis nama dari ke-7 rekan JERAM untuk suatu saat bisa menggapai gunung ini bersama. Lagi-lagi saya tidak mem-backup fotonya.
Registrasi dan briefing menjadi pemula dari rangkaian pendakian ini. Ingat ya kawan, agar selalu menjaga kebersihan dan menuruti tata tertib mendaki demi keselamatan diri. Selepas itu, pos demi pos kami singgahi. Menanjak dan menurun, sama seperti jalannya hidup. Melewati Ranukumbolo yang indah, Tanjakan Cinta, Oro-Oro Ombo, dan Kalimati sebagai pos terakhir sebelum Puncak Mahameru.
Sampai disana ketika sore menuju senja. Ketika tenda telah kokoh dipasaki, saya hanya duduk menikmati gagahnya Puncak Mahameru dan melihat kibaran Bendera Merah Putih di ujung pandangan Dan pada pukul 2 dini hari, anggota tim mulai merangkak ke puncak. Kurang lebih satu jam perjalanan, dada saya terasa nyeri dan saya tidak bisa merasakan indera peraba saya. Karena takut terjadi apa-apa, saya memutuskan untuk turun kembali ke Pos Kalimati.
Saya memutuskan untuk beristirahat, sambil memejamkan mata yang diiringi suara langkah kaki yang begitu dekat sekali terdengar di telinga. Tak lama menjelang setelah itu, rekan setim saya juga ada yang turun kembali.
Maaf, Bagja. Puncak Mahameru gagal saya raih. Lagi-lagi sama seperti kehidupan yang kita sedang jalani ini. Merasa bersalah sebentar saja. Pagi hari di Kalimati saya habiskan untuk merenungi hidup. Dan terpikir tentang Bagja kawan saya yang mungkin saya kecewakan hari itu. Saya hanya merenung dan menulis sebelum turun berkemah di muka Ranukumbolo.
BAGJA, SURYAKENCANA, DAN RANUKUMBOLO
Tahun 2019. Selepas setahun kepulangaan saya dari Semeru, sedikit banyak hal merubah cara pandang saya terhadap hidup. Tetapi saya tetaplah saya. Keras dan ambisius dalam hal yang saya cintai.
Kala itu kami sudah bukan lagi mahasiswa baru yang polos. Satu dan lain hal menempa kami dan pecah fokus terhadap mimpi awal yang kami susun sedemikian rupa untuk diupayakan terwujud. Perkuliahan semakin berat.Tapi api dalam diri kami belumlah seutuhnya padam atau memang belum sama sekali. Ida yang setengah mati belajar organisasi juga turut membantu banyak sekali. Kendalanya ialah, UKM pecinta alam di kampus tengah hutan ini dibebukan entah sampai kapan. Sekiranya begitu informasi yang kami dapatkan. Ada rasa sedikit hopeless dalam benak diri sebenarnya.
Entahlah. Kami semua juga bingung. Tapi yang tidak permah padam dan akan terus terbakar adalah gelora saya dan Bagja untuk naik gunung. Benar saja, di pertengahan tahun kawanku itu langsung mendaki 3 gunung. Gede, Prau dan Semeru. Saya turut senang.
Saya senang sekali dikirimi foto hutan di Gunung Gede dan keindahan Suryakencana. Terlebih Suryakencana. "Non, kamu pergi ke tempat Soe Hok Gie meninggal, aku pergi ke tempat abunya ditabur". Kalimat itu berarti bagi saya karena selain gunung, kami juga sama gemarnya terhadap Gie. Kami sering membahas buku-bukunya dan kelantangannya melawan ketidakadilan.
SELISIH
Selepas pendakian 3 gunung itu, setiap hari Bagja dan saya malah semakin menjauh. Kebanyakan karena faktor mengurusi angkatan ini sampai saya memutuskan mundur menjabat sebagai sekertaris. Saya sudah muak. Hal ini yang membuat kami sering berselisih paham sampai akhirnya tidak bertegur sapa selama beberapa waktu. Satu setengah tahun kurang lebihnya segitu. Bahkan saya enggan menceritakan tragedi "Rantemario (Puncak Latimojong)" kepadanya.
Yang lebih nistanya, ketika akhir 2019 menuju 2020 mimpi membangun JERAM menjadi UKM sudah sirna adanya. Kita hidup masing-masing saja lah menjadi puncak konflik waktu itu. Kami benar-benar berhenti membicarakan tentang gunung kembali.
MUARA
Saya tidak pernah tahu kalau selama ini, kawan saya satu itu masih menyimpan mimpi besar kami. Walau pada kenyataannya sampai kami dinyatakan lulus sidang skripisi JERAM tidak pernah menjadi UKM resmi pecinta alam kampus tengah hutan, ia tetap memaknai pertemanan kami. Saya tampilkan, ya screenshot-nya.
Saya selalu menitihkan air mata kalau membaca pesan dari kawan saya itu, Bagja.
Buat Bagja,
Ja, (ga pake kata kalo). Terkutuk masa-masa kita musuhan. Tapi mau gimana lagi, udah terjadi juga, udah masanya terjadi waktu itu. Sekarang kita bukan maba lagi, sih. Dah sarjana juga akhirnya, ya. Apa yang terjadi waktu itu, tinggal di waktu itu aja. Sekarang dah ada kok junior-junior kita yang punya mimpi kayak kita pas maba dulu. Doain aja semoga kejadian. Biar kata namanya buka JERAM, hehe. JERAM buat kita bertujuh aja, ya.
Makasih selama ini kamu ga ngelupain mimpi super kita sewaktu maba sampe sekarang pengangguran 😂😂
Tapi masih ada satu mimpi yang sekiranya kita bisa usahakan dari awal bareng-bareng lagi. Naik gunung bareng, oke!
Sekian dulu, Ja tulisan ini aku buat khusus. And untuk detail pendakian Semeru, 2018 aku usahain buat ditulis di Blog ini.
Hy kakak
ReplyDelete