3 tahun lalu aku menulis ini
Tetap hidup dengan paksaan harus selalu waras.
Membaca linimasa penuh berisikan berita huru-hara, otoriter, menukar badan agar bisa makan di hari ini.
Hidup bisa dibeli tentu dengan si pembeli berduit.
Komedi-komedi sampah suapan penguasa mematikan fungsi otak.
Kontras dari kemajuan primitif menjadi populasi intelek. Intelek menjadi primitif. Atau hanya kemasan saja yang modern isi masih primitif tulen.
Begini lah dunia yang kuhadapi sekarang.
Mimpi hidup luksuri di kota besar yang dibangun dari jutaan tumbal-tumbal makhluk Tuhan tetaplah mimpi.
Menyedihkan. Tidak bisa bangun mungkin disebabkan ketindihan menaun.
Resah memang resah untuk hari besok, berkesudahan sekarang.
Tidak mempertanyakan hari ini saja sudah syukur.
Pertolongan katanya, ingin menyaingi Tuhan nampaknya orang-orang ini yang mengantongi tanggung jawab segede gaban ini, sudah hilang akal memang dari membungkus tanggung jawab cap pertolongan ini.
Ada juga yang berlomba-lomba menjadi babi. Tamak. Perlu dipotong nampaknya.
Ah, memang aku ini siapa hanya cecunguk saja. Bisa secara gampang tinggal hap dan lenyap detik ini juga.
Siapa yang ingin bersembunyi? Gampang. Sekrang tembok beton lembek dan gampang roboh dimakan pengerat. Bersembunyi saja dibalik jempol. Mudah, bukan? Ya tentu.
Bunga palsu makin bervariasi saja bentuknya, begitu pula dengan kuku, bulu mata, bahkan kelamin dan air mata.
Ingin menjemput pujaan hati, loker namanya. Baru lulus sudah mendapat pekerjaan siapa yang tidak senang.
Dibayar dengan pengalaman tak terlupakan melilit leher bapak ibu dan adik-adik yang mau masuk sekolah.
Rekam saja rekam sampai gaduh adalah budaya disini. Lebih gagah dari hukum katanya, lumayan tidak usah susah-susah kuliah hukum semua bisa jadi hakim.
Iblis ialah kawan, jual saja apa yang bisa dijual asal keinginan terpenuhi.
Itulah takut jadi miskin lebih menakutkan daripada takut kepada Tuhan.
Comments
Post a Comment